Enter your keyword

UNJ Gelar Dialog Kebangsaan Bertajuk “Mengawal Demokrasi Untuk Pemilu Bersih dan Damai”

UNJ Gelar Dialog Kebangsaan Bertajuk “Mengawal Demokrasi Untuk Pemilu Bersih dan Damai”

UNJ Gelar Dialog Kebangsaan Bertajuk “Mengawal Demokrasi Untuk Pemilu Bersih dan Damai”

Humas UNJ, Jakarta – Maraknya dinamika politik menjelang Pemilu 2024, menggerakkan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sebagai salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia yang memiliki tanggung jawab Tri Dharma Perguruan Tinggi menyelenggarakan pendidikan politik dalam bentuk Dialog Kebangsaan yang bertajuk “Mengawal Demokrasi Untuk Pemilu Bersih dan Damai”. Acara yang diselenggarakan pada Rabu, 7 Februari 2024 ini digelar secara daring via Live Streaming YouTube Edura TV dan luring bertempat di Aula Maftuchah Yusuf, Gedung Dewi Sartika Lantai 2 UNJ.

Acara Dialog Kebangsaan ini dimoderatori oleh Dr. Robertus Robet selaku Dosen Sosiologi FIS UNJ, dengan Narasumber Prof. Hafid Abbas selaku Guru Besar UNJ sekaligus Ketua Senat UNJ, Bivitri Susanti, S.H., LL.M selaku Dosen STH Indonesia Jentera, Ubedilah Badrun, M.Si selaku Dosen Sosiologi FIS UNJ dan Tsabit Syahidan selaku Ketua BEM UNJ. Turut hadir dalam acara ini Prof. Komarudin selaku Rektor UNJ, para Wakil Rektor, Ketua Lembaga, Dekan, Kepala Badan, Kepala Biro dan segenap sivitas akademika UNJ termasuk mahasiswa UNJ.

Syaifudin, M.Kesos selaku Panitia Pelaksana dalam sambutannya menyampaikan, Dialog Kebangsaan ini merupakan bagian dari proses pendidikan politik dimana perguruan tinggi mengemban amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang salah satunya mempunyai fungsi untuk bisa memberikan proses pendidikan politik bagi sivitasnya. Oleh karena itu, dialog kebangsaan ini merupakan bagian dari sekolah kebangsaan.

Rektor UNJ, Prof. Komarudin mengatakan, eskalasi dan dinamika politik semakin meningkat saat ini. Di berbagai kampus, banyak muncul deklarasi, petisi dan sebagainya. Kami dalam Forum Rektor Indonesia, sudah menyerukan tentang pemilu yang aman dan damai agar bisa menghasilkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Tentu harapan ini menjadi kewajiban kita bersama untuk mewujudkannya. Bagi kampus, sebagai lembaga pendidikan, maka kewajiban yang kami serukan dalam Forum Rektor ialah melakukan edukasi. Salah satu bentuk edukasinya adalah melalui dialog seperti ini. Pendidikan politik menjadi kewajiban perguruan tinggi untuk memberikan kecerdasan pada warganya, tentu adalah kecerdasan politik. “Mudah-mudahan dari dialog ini, menghasilkan pemikiran-pemikiran dan bisa jadi rekomendasi terbaik untuk mengawal demokrasi dalam rangka pemilu yang bersih dan damai.” tutup Prof. Komarudin.

Moderator Dr. Robertus mengawali dialog menyampaikan bahwa pemilu merupakan suatu proses politik yang penting di dalam negara demokratis, karena di dalam pemilu, reproduksi elite terjadi. Dari segi akademis, banyak ahli politik mengkritik sistem demokrasi kita. Kemudian muncul pertanyaan, “Secara normatif, apa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar Indonesia dalam pemilu 2024 ini bisa melakukan pemilu secara bersih dan damai?”

Prof. Hafid mengatakan universitas tidak boleh terbelenggu oleh romantisme sempit, fungsi universitas itu sebagai otak negara. Jadi jika universitas melakukan deklarasi, ini seharusnya jangan dicurigai oleh elite politik, karena universitas merupakan scientific community. Parameternya, tahun 2024 ini ada 76 negara yang melakukan pemilu seperti di Indonesia. Tapi yang diduga oleh pengamat politik, yang paling rawan ialah Indonesia. Jika di Korea Utara, tahun 2014 itu bisa dibilang sebagai pemilu paling aman dan damai, karena semua penduduk yang datang di TPS, harus menunduk pada baliho Kim Jong Un, sebelum masuk ke kotak suara. Tapi anehnya, calonnya memang hanya satu jadi 100% pasti akan menang. Adapula di Amerika Serikat, pada saat pemilu Al Gore dan George W. Bush hasilnya hanya selisih 5 suara, namun yang kalah biasa saja, tidak ada keributan atau semacamnya, bahkan Al Gore reputasinya sangat baik. Dari refleksi ini, seharusnya kita bisa memilih mau kemana arahnya. Salah satu syarat dari pemilu yang bersih itu harus ada freedom on science.

Bivitri menyoroti dari segi hukum ketatanegaraan, jika hanya melihat hukumnya, kita semua sudah ada undang-undang pemilu. Akhir-akhir ini banyak yang mengajak saya berdebat persoalan hukum bahwa sekarang hukum dijadikan perisai untuk melakukan hal-hal yang tidak etis. Bagaimana pemilu secara hukum yang bersih dan damai? Pemilu bersih itu adalah ketika semua peraturan perundang-undangan bisa dilaksanakan sesuai dengan asas pemilu. Tapi akhirnya banyak muncul perdebatan, mana yang bersih? Seperti yang terjadi belakangan ini, banyak kampus yang dituduh sebagai partisan. Para akademisi bergerak karena mempunyai privillege untuk belajar setinggi ini, punya pengetahuan dan kompas moral yang dijadikan banyak panduan di negara ini, ketika melihat sesuatu yang tidak benar kaum intelektual harus bersuara keras.

Ubedilah menekankan dari segi kepolitikan, kenapa pemilu 2024 dipenuhi dengan aneka macam kekhawatiran? Paradigma republicanism menjadi paradigma utama, dimana rakyat diberikan ruang merdeka dan kekuasaan itu memberikan pelayanan kepada rakyat. Para ilmuan demokrasi meyakini di negara yang melek internet itu demokrasinya membaik karena sistem kontrol dari rakyat itu mudah. Tapi data menunjukkan demokrasi kita memburuk. Apa fakta memburuknya? Indeks demokrasi kita stagnan, bahkan terburuk sejak 13 tahun terakhir. Implikasinya adalah para investor besar di dunia akan mau berinvestasi di negara berkembang, jika demokrasinya berjalan baik. Jadi demokrasi ini erat kaitannya dengan ekonomi. Menurut saya, masih banyak kekurangan, ada cacat pemilu, kompas moral kaum intelektual menjadi sangat penting dalam proses ini.

Tsabit sebagai ketua BEM UNJ yang mewakili mahasiswa menyampaikan, mahasiswa mempunyai peran untuk melakukan edukasi dan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pencerdasan, minimal kepada orang terdekat bagaimana kondisi politik Indonesia saat ini dan pada akhirnya bisa menjadi pemilih yang cerdas. Jangan sampai hak suaranya tidak digunakan. Kami juga memiliki peran untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat, jangan mudah terprovokasi.

Diakhir acara, moderator memberikan kesimpulan, pertama, kita harus membedakan justifikasi dengan legitimasi. Jika bicara mengenai hukum itu Justifikasi, justifikasi seringkali tidak menghasilkan legitimasi. Legitimasi ada karena tindakan moral. Dalam pemilu, yang kita cari itu legitimasi. Hanya dengan legitimasi satu pemberitaan itu bisa kuat. Kita sebagai akademisi hanya khawatir, jika negara tidak memiliki legitimasi yang kuat maka negara tidak bisa mendapat penerimaan yang baik dari masyarakat. Kedua, politik bermoral. Politik itu bukan mencari apa yang enak dan mencari kekuasaan. Politik itu artinya berikhtiar untuk mencapai kemaslahatan umum.