Peringati Hari Disabilitas Internasional, UNJ Gandeng P3M Gelar Halaqah Nasional
Humas UNJ, Jakarta-Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada hari ini, 3 Desember 2024, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bekerja sama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyelenggarakan Halaqah Nasional dengan tema “Akselerasi Jaminan Pendidikan Setara bagi Disabilitas untuk Mewujudkan Pendidikan Inklusif”.
Acara ini diselenggarakan secara hibrid, dengan kegiatan luring bertempat di Aula Latief Hendraningrat dan kegiatan daring disiarkan melalui kanal YouTube Sahabat P3M dan Universitas Negeri Jakarta.
Halaqah Nasional ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Prof. Totok Bintoro, Kepala BPS Labschool UNJ dan Guru Besar Pendidikan Bahasa untuk Anak Berkebutuhan Khusus, kemudian Hj. Hindun Anisah, MA, Ketua Yayasan Semai (Sekolah Inklusi), Kikin P. Tarigan, M.M., Komisioner Komnas Disabilitas RI serta Hj. Ida Zulfiya, M.Ag., Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ).
Selain para narasumber, acara ini juga dihadiri oleh Dr. Andy Hadiyanto, Wakil Rektor UNJ, KH Sarmidi Husna, Direktur P3M, serta para pejabat lainnya di lingkungan UNJ.
Sambutan pertama disampaikan oleh Direktur P3M, KH Sarmidi Husna. “Hari ini kita memperingati Hari Disabilitas Internasional. Kami dari P3M telah lama menggeluti isu disabilitas dan sering melakukan halaqah kerja sama antara P3M dengan PSLD. Dari hasil halaqah tersebut, kami sepakat untuk menerbitkan buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas”.
Menurut beliau, masalah disabilitas sampai sekarang masih perlu mendapatkan perhatian. Beberapa masalah yang dihadapi antara lain mindset berkaitan dengan anak disabilitas. Biasanya, anak dengan disabilitas disembunyikan karena dianggap aib atau malu. Kemudian negara, peran negara belum optimal, bahkan setelah adanya UU No. 8 Tahun 2016 dalam pelayanan atau fasilitasi terhadap disabilitas, baik dalam fasilitas pendidikan maupun rumah ibadah. Serta pelayanan, masalah pelayanan ruang publik dan pendidikan masih kurang. Kita juga masih defisit guru pendamping khusus, baru sekitar 15% dari jumlah peserta didik penyandang disabilitas.
“Mudah-mudahan pertemuan kita ini bukan yang terakhir dan akan ditindaklanjuti dengan pelatihan guru pendamping khusus disabilitas serta pelatihan juru bahasa isyarat, terutama juru bahasa isyarat hijaiyah,” tutup KH Sarmidi.
Selanjutnya, Dr. Andy Hadiyanto menyampaikan bahwa tema Hari Disabilitas Internasional 2024 adalah memperkuat kepemimpinan penyandang disabilitas untuk masa depan yang inklusif dan berkelanjutan. “Teman-teman disabilitas bukanlah yang memiliki kebutuhan khusus, tetapi memiliki karunia khusus dari Allah SWT. Cara pandang seperti itu membuat kita memberikan penghargaan lebih kepada mereka dan memberikan kesempatan untuk berkarir, berkembang, dan mengekspresikan diri bersama kita.
“Mudah-mudahan melalui halaqah ini, UNJ mampu menjadi pelopor dalam pelayanan dan fasilitas bagi orang dengan karunia khusus. Ke depan, saya sangat setuju dengan program pelatihan yang ditawarkan oleh Direktur P3M,” tutup Dr. Andy Hadiyanto.
Paparan Empat Narasumber
Keempat narasumber tersebut menyampaikan materinya satu per satu dengan dimoderatori oleh Mayasari Manar, M.Pd., selaku Dosen UNJ.
Paparan pertama disampaikan oleh Prof. Totok Bintoro. Ia mengajak kita untuk menggunakan kesempatan bergaul dan berteman dengan anak berkarunia khusus, karena siapa tahu dari mereka yang akan membawa kita ke surga kelak.
Untuk menciptakan pendidikan yang inklusif, pendidikan harus menerapkan prinsip Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) yang berarti keberagaman, kesetaraan, dan inklusi dalam pendidikan. Ini adalah konsep dan praktik yang bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang setara tanpa membedakan latar belakang.
“Inklusi merupakan cita-cita yang indah. Inklusi bisa terlaksana dengan baik apabila terpenuhi tiga hal yakni pertama, policy, pemenuhan hak-hak dalam undang-undang atau aturan pedoman. Kedua, technical, penyiapan guru yang paham betul menangani anak berkarunia khusus dan juga menyiapkan kurikulum khusus. Dan ketiga, culture, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menerapkan sekolah yang ramah, dan non-bullying.
Tiga hal tersebut harus tegak! Jika tidak, inklusi hanya akan menjadi ilusi di Indonesia,” tegas Prof. Totok.
Paparan kedua disampaikan oleh Hj. Hindun Anisah, M.A. Ia menceritakan tantangannya ketika mendirikan sekolah inklusi. Tantangan tersebut tidak hanya masalah administratif, tetapi juga bagaimana menerapkan pembelajaran inklusi.
“Kami sempat memulai pengajuan perizinan sekolah dasar inklusi dengan menunjukkan kurikulum dan metode pembelajaran. Namun, kami sempat dicurigai oleh dinas pendidikan apakah kurikulum tersebut sama dengan nasional. Banyak yang belum memahami apa itu sekolah inklusi. Bahkan, ketika kami memulai sekolah dasar, tersebar berita di masyarakat bahwa kami adalah sekolah liar dan tidak benar. Begitulah tantangan yang kami hadapi dalam mendirikan sekolah inklusi,” cerita Hj. Hindun.
“Saya sangat mendukung acara ini, dan semoga hasil dari acara ini menggugah pemerintah untuk serius menangani isu disabilitas. Semoga P3M dapat menggandeng pesantren-pesantren agar lebih aware tentang pesantren inklusi,” ujar salah satu peserta.
Berikutnya, Ida Zulfiya menyampaikan, “Kami sangat yakin bahwa petunjuk Al-Qur’an juga sangat berhak didapatkan oleh teman-teman disabilitas. Jika tidak ada aksesibilitas, bagaimana teman-teman disabilitas bisa menerima petunjuk dari Allah melalui Al-Qur’an?”
Berdasarkan landasan yuridis melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 14 ayat c tentang hak keagamaan disebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak mendapatkan kitab suci dan literatur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya. Oleh karena itu, adanya mushaf Al-Qur’an isyarat sangat penting, dan mushaf ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di dunia.
Paparan terakhir disampaikan oleh Kikin P. Tarigan, M.M. “Pendidikan pesantren wajib kita rambah agar terwujud pendidikan pesantren yang inklusif. Dari banyak hal yang kita bicarakan, penting untuk memastikan kesinambungan dari proses masuk, belajar, hingga selesai. Kehadiran sekolah inklusif saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Kita harus bersama-sama dan berkolaborasi.
“Harapan kami, dengan kolaborasi ini, kita dapat segera memulai langkah-langkah yang diperlukan. Tentu saja, seribu langkah dimulai dari satu langkah,” tutup Kikin.