Enter your keyword

Webinar Menyambut HUT RI ke-75 : Menjaga Keutuhan NKRI, Belajar Dari Penyelesaian Damai Konflik Aceh dan Maluku

Webinar Menyambut HUT RI ke-75 : Menjaga Keutuhan NKRI, Belajar Dari Penyelesaian Damai Konflik Aceh dan Maluku

Webinar Menyambut HUT RI ke-75 : Menjaga Keutuhan NKRI, Belajar Dari Penyelesaian Damai Konflik Aceh dan Maluku

Humas UNJ (15/08/2020) – Dalam rangka peringatan HUT Ke-75 RI, Pusat Studi Penelitian, Sosial, Humaniora, dan Ekonomi LPPM UNJ menyelenggarakan Webinar dengan tema “Menjaga Keutuhan NKRI, Belajar dari Penyelesaian Konflik Secara Damai di Aceh dan Maluku” melalui media Zoom pada Jumat, 14 Agustus 2020.

Dr. Ucu Cahyana, selaku ketua LPPM menyampaikan dalam laporananya bahwa webinar diikuti 338 peserta dari berbagai perguruan tinggi, Pemerintah daerah Aceh, Maluku, dan Maluku Utara, DPD RI, LIPI, Kementerian Luar Negeri dan Ikatan Alumni Lemhanas.

“Dari webinar ini, LPPM UNJ akan merumuskan konsep naskah akademis yang menjadi pembelajaran dan rujukan dari berbagai penyelesaian konflik di Indonesia. Banyak pembelajaran berharga yang dapat kita petik dari penyelesaian damai konflik Aceh dan Maluku,” ujar Ucu.

Rektor UNJ, Dr. Komarudin, M.Si., membuka kegiatan webinar dengan resmi. Komarudin mengapresiasi kegiatan webinar yang digagas LPPM UNJ tersebut. “Diharapakan dengan mempelajari srategi  dan model-model penyelesaian konfik Aceh dan Maluku, kita dapat mengambil pelajaran dalam pengelolaan dan penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia” jelasnya.

Pemaparan materi diawali oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang RI, Dr. Sofyan A Djalil  S.H., M.A, MALD, yang merupakan negosiator perjanjian damai Aceh. Ia mengatakan bahwa perjanjian damai Aceh dapat terwujud karena terbangunnya dialog dan saling percaya antara GAM dan Pemerintah RI. Perjanjian damai Aceh merupakan program dari janji kampanye SBY-JK, saat kampanye pilpres, yang akan menyelesaikan konflik Aceh secara damai, nonmiliter.

“Perjanjian Damai Aceh sampai saat ini dapat berjalan dengan baik, kekhawatiran banyak pihak adanya Partai Lokal Aceh, sebagai hasil dari salah satu butir perjanjian damai Helsinki, ternyata tidak terbukti. Pengaruh Partai Aceh saat ini ternyata tidak terlalu kuat di banding Partai Partai Nasional” kata Sofyan.

Juha Christensen sebagai mediator pada Perjanjian Damai Aceh di Helsinki asal Finlandia, mengatakan Perjanjian Damai Aceh menjadi pembelajaran tidak hanya bagi Indonesia tetapi dunia. Perjanjian damai Aceh di bangun atas dasar kesetaraan (dignity for all) kedua belah pihak tidak ada yang merasa kalah dan merasa menang.

“Kami sangat bangga ada negara seperti Indonesia yang mempercayakan Finlandia sebagai mediator dan tempat perundingan damai berlangsung, Konflik Aceh sangat sensitif bagi Indonesia. Kita harus jujur tanpa pihak ketiga konflik aceh tidak bisa selesai,” kata Christensen. Keberhasilan perjanjian damai Helsinki, tambahnya, tidak bisa dilepaskan dari peranaan Presiden Finlandia saat itu Martti  Ahtisaari dalam melakukan mediasi.

Setelah itu, pembahasan beralih kepada konflik Maluku. Prof. T. D. Pariela, MA., Dekan Fisip Unpatti, sebagai negosiator perjanjian damai Konflik Maluku. Pariela menyatakan Konflik Maluku memberikan pelajaran yang berharga bagi masyarakat Maluku, pada kususnya  dan Indonesia pada umumnya.

“Perdamaian dapat terwujud berkat kerjasama dari semua pihak, pemerintah, tokoh masyarakat, Civil Society. Sebagai pembelajaran  dari konflik Malukum, perlu dipikirkan manajemen masyarakat plural  (MPP) sebagai mekanisme tata kelola masyarakat majemuk yang komprehensif  dan bekeadilan bagi semua unsur identitas  asal yang berbeda-beda“ ujar Pariela.

Sementara menurut Prof. Dr. Mus Huliselan, konflik Maluku bukanlah konflik agama, melainkan ada pihak yang memiliki kepentingan untuk memecah belah Masyarakat Maluku. “Kenapa Konflik Maluku bukan Konflik agama? Karena masyarakat Maluku memiliki kearifan lokal yang menghargai perbedaan agama, ini dapat dilihat dari nilai nilai kearifan lokal masyarakat Maluku,“ ujarnya. Sampai saat ini, lajut Mus, masih terpelihara pada negeri-negeri adat, seperti konsep Pela Gandong, konsep Pela Gandong merupakan jalinan kultural dan sosial yang terbagun lintas agama.

Prof. Hafid Abas, selaku Ketua Senat UNJ, mengatakan Perdamaian Aceh dan Maluku  merupakan peristiwa yang sengat penting  dalam penegakan  HAM  karena perdamaian tersebut telah menyelamatkan banyak jiwa.

“Tidak ada pembangunan tanpa perdamaian, tidak ada perdamaian tanpa pembangunan  dan tidak ada kedua dua nya tanpa penegakan hukum“ tegas Hafid. “Perlu ada peranan kampus dalam menyumbangkan ide-ide kreatif untuk kedamaian,” lanjutnya.

Di akhir acara, Kordinator Pusat Penelitian Sosial, Humaniora, dan Ekonomi UNJ, Dr. Abdul Harif Fatgehipon, M.Si., diharapkan dengan acara Webinar ini dapat  melahirkan model baru  pengembangan riset  sosial di bidang  ednografi, dan  resolusi konflik,  yang sangat bermanfaat dalam berbagai penyelesaian konflik secara damai  diberbagai wilayah  di Indonesia,  perguruang tinggi memiliki tangung jawab dalam menjaga keamanan dan perdamian, perlu adanya kerja sama antarperguruan tinggi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah.