Enter your keyword

BATARA KALA MENGANTARKAN DOSEN PENDIDIKAN SENI RUPA UNJ MERAIH GELAR DOKTOR

BATARA KALA MENGANTARKAN DOSEN PENDIDIKAN SENI RUPA UNJ MERAIH GELAR DOKTOR

BATARA KALA MENGANTARKAN DOSEN PENDIDIKAN SENI RUPA UNJ MERAIH GELAR DOKTOR

“Jangan duduk di tengah pintu, jangan menyisir di meja makan, jangan tidur di tengah hari, jangan ini, jangan itu”. Semua peringatan itu selalu diiringi dengan ancaman maut: dimakan Batara Kala

Batara Kala, sosok raksasa jahat yang berbentuk menyeramkan itu bagi orang Jawa sudah sangat dikenal selalu menebar ancaman. Batara Kala tidak hanya hadir dalam Ruwatan Murwakala, tetapi juga bergentayangan menyusup ke dalam narasi-narasi peringatan bagi anak kecil yang dianggap melanggar pantangan dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan duduk di tengah pintu, jangan menyisir di meja makan, jangan tidur di tengah hari, jangan ini, jangan itu”. Semua peringatan itu selalu diiringi dengan ancaman maut: dimakan Batara Kala. Narasi-narasi tersebut mengilhami sosok Indro Moerdisuroso Purwodo, Dosen Pendidikan Seni Rupa UNJ yang di masa kecil yang tinggal di Purbalingga, kota kabupaten di kaki Gunung Slamet.

Memori masa kecil yang awalnya hanyalah dongeng menjelang tidur itu terus hidup dan mengancam, serta dari waktu ke waktu terasa sekaligus meneduhkan. Seakan hendak menyelami misteri itu, Indro menjadikan Batara Kala sebagai disertasi. Dengan judul “Budaya Visual Wayang Kulit Batara Kala Gaya Yogyakarta, Kajian Tata Visual dan Estetika Sublim,” Indro Moerdisuroso Purwodo mempermasalahkan metafungsi dan pengalaman estetika sublim Batara Kala. Sejumlah Batara Kala yang berpola bentuk wayang kulit gaya Yogyakarta, berupa boneka wayang kulit, sampul buku, lukisan, dan ilustrasi pawukon diteliti secara kualitatif dalam paradigma teori kritik. Data berbagai bentuk teks Batara Kala yang diposisikan sebagai ragam ujaran visual (parole) itu disandingkan untuk dibaca perbedaan karakteristiknya berdasarkan sistematika bentuk (langue) versi Keraton Yogyakarta sebagai pusat kekuasaan budaya. Dengan cara ini dihasilkan spektrum yang terdiri dari enam lapis perbedaan bentuk Batara Kala dari titik pusat versi penguasa. Hasil penglasifikasian ini kemudian dianalisis metafungsinya dengan teori tata visual (visual grammar) Gunther Kress dan Theo van Leeuwen (2006), serta direfleksikan dengan konsep estetika sublim sebagai penggabungan aspek diabolus (Eco, 2007) dan differend (Lyotard, 1991).

Indro Moerdisuroso Purwodo telah berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan Tim Penguji: Prof. Dr. Djohan, M.Si. (Ketua Penguji, ISI Yogyakarta); Prof. Drs. Soeprapto Soedjono, M.F.A., Ph.D. (Promotor, ISI Yogyakarta); Dr. St. Sunardi (Kopromotor, Universitas Sanata Darma); Prof. Dr. Kasidi (ISI Yogyakarta); Prof. Dr. M. Agus Burhan (ISI Yogyakarta); Dr. Suwarno Wisetrotomo (ISI Yogyakarta); Dr. Prayanto Widyo Harsanto (ISI Yogyakarta); Kurniawan A. Putranto, Ph.D. (ISI Yogyakarta); Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A. (Universitas Gadjah Mada) pada Kamis 21 Desember 2017 dengan predikat ‘Sangat Memuaskan’, dan menjadi doktor ke-42 lulusan Program Pascasarjana ISI Yogyaarta

Dosen Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta ini menyimpulkan penggunaan pola bentuk wayang kulit Batara Kala gaya Yogyakarta menunjukkan metafungsi: 1) berfungsi ideasional sebagai situs kontestasi bentuk pemikiran berbasis keyakinan, 2) berfungsi interpersonal sebagai pernyataan sikap ‘rengkung-tolak’, 3) berfungsi tekstual sebagai pernyataan ‘waktu sakral,  waktu mitis, dan waktu apokaliptik’. Adapun bentuk artistik menyeramkan Batara Kala yang auranya terasa mengancam sekaligus meneduhkan itu bagi Indro MP merupakan presentasi dari pola pikir mitis atas kekuatan mahadahsyat. Sebelum diberi wujud, diwacanai, dan dinamai, Batara Kala ‘kosong’, nir-wujud, tanpa batas, hanya energi dahsyatnya yang tampak mampu mengatur dan mengacaukan alam semesta. Kebatarakalaan bagi Indro MP merupakan ketidakterbatasan seseorang untuk membatasi diri dalam memproduksi wacana. Berdasarkan penelitian ini disarankan agar karakter wayang difungsikan sebagai representasi identitas keindonesiaan untuk menyikapi fenomena budaya visual hari ini yang berkembangbiak dengan cepat ke berbagai sendi kehidupan.